Oleh Syamsul Arifin, SKM. MKKK. (Praktisi dan pengajar K3 Balikpapan - syamsul.arifin@yahoo.com)
Tanggal 31 Mei lalu diperingati sebagai Hari Tanpa Tembakau Sedunia atau World No Tobacco Day.
World Health Organization (WHO) mengambil tema "tembakau - ancaman perkembangan (bangsa)" untuk perayaan tahun ini.
Direktur umum WHO, Dr Margaret Chan mengatakan bahwa tembakau memperbesar kemiskinan, menurunkan produktifitas ekonomi, berkontribusi pada pilihan makan di keluarga miskin (lebih memilih rokok ketimbang makanan sehat-bergizi), dan mencemari udara dalam ruangan.
Parahnya, untuk konsumsi rokok, Indonesia menempati ranking tertinggi (pertama) se-negara di ASEAN dengan rata-rata konsumsi sebanyak 1,322 batang per orang per tahun.
Yang menyedihkan, konsumsi rokok di keluarga miskin jauh lebih besar dibandingkan pengeluaran penting lainnya semisal untuk pendidikan, kesehatan, telur, susu, dan daging.
Survei keluarga nasional, Badan Pusat Statistik (BPS) 2011 menunjukkan bahwa pengeluaran untuk rokok 5 kali lebih besar dari pengeluaran untuk telur dan susu, 6,5 kali lebih besar dari biaya pendidikan, 6,5 kali lebih besar dari biaya kesehatan, dan 9 kali lebih besar dari pengeluaran untuk konsumsi daging!
Sepertinya orang miskin lebih memilih 'makan' rokok ketimbang makan daging?
Ada yang berkata bahwa dengan merokok, kita membantu meningkatkan ekonomi petani tembakau dan meningkatkan pendapatan negara? Faktanya, data Kementerian Kesehatan menunjukkan, meski negara menerima cukai rokok sebesar Rp. 55 triliun (tahun 2010), pengeluaran makro akibat rokok jauh lebih besar, mencapai Rp. 245,41 triliun (pembelian rokok 138 triliun, hilangnya produktifitas akibat cacat di usia muda 105,3 triliun, dan pengeluaran perawatan medis 2,11 triliun). Data ini menunjukkan bahwa kerugian akibat rokok lebih besar dari manfaat ekonomi yang dihasilkan.
Sudibyo Markus, Direktur Indonesia Institute for Social Development mengatakan bahwa orang terkaya nomor 1 dan 2 di Indonesia adalah pemilik industri rokok, sementara hidup petani tembakau terseok-seok; komoditas tembakau yang dihasilkan oleh petani justru dinikmati oleh industri rokok besar.
Penelitian mengenai kondisi petani tembakau di Indonesia yang dilakukan oleh Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi Universitas (LD-FEUI) bekerjasama dengan Tobacco Control Support Center (TCSC) atau Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) juga menunjukkan bahwa kondisi petani tembakau menunjukkan informasi yang memprihatinkan.
Upah buruh tani tembakau yang diterima lebih rendah dari rata-rata upah nasional. Rata-rata upah harian buruh tani tembakau sebesar Rp 15.899 per hari atau sekitar Rp 413.374 perbulan dengan asumsi 26 hari kerja.
Bahkan hasil penelitian juga menunjukkan sebanyak 65% responden buruh tani tembakau menyatakan ingin mencari pekerjaan lain. 64% nya menyatakan ingin beralih ke usaha lain seandainya ada usaha lain dengan keuntungan lebih besar atau minimal sama.
Saya tidak akan menjelaskan mengenai bahaya merokok, kandungan racun yang ada dalam sebatang rokok, efek buruknya bagi kesehatan, dan kerugian ekonomi yang didapat dari pilihan merokok, yang akan saya ungkapkan selanjutnya adalah himbauan untuk memanfaatkan momentum puasa di bulan Ramadhan untuk memulai langkah awal menghentikan kebiasaan buruk, merokok.
Secara bahasa, puasa berarti "menahan", sedang secara istilah, puasa berarti "menahan diri dari segala yang membatalkan puasa, sejak terbit fajar hingga matahari terbenam, dengan disertai niat". Salah satu yang dapat membatalkan puasa adalah merokok.
Ustadz Ahmad Sarwat, Lc., MA. menjelaskan, seluruh ulama sepakat bahwa menghisap rokok bila dilakukan pada siang hari Ramadhan, maka hal itu membatalkan puasa.
Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin menasihati, bulan Ramadhan adalah waktu tepat bagi orang yang memiliki tekad kuat untuk meninggalkan rokok yang jelek dan bisa mendatangkan bahaya.
Waktu ini adalah kesempatan yang baik untuk meninggalkan rokok karena sepanjang siang, seseorang harus menahan diri dari hal tersebut. Sedangkan di malam hari, dia bisa menghibur diri dengan hal-hal yang mubah seperti makan, minum, jalan-jalan ke masjid, atau berkunjung ke majelis orang sholih.
Untuk meninggalkan kebiasaan merokok, seseorang juga hendaknya menjauhkan diri dari para pecandu rokok yang bisa mempengaruhi dia untuk merokok lagi.
Apabila seorang pecandu rokok setelah sebulan penuh meninggalkan rokoknya (karena momen puasa yang dia lalui), ini bisa menjadi penolong terbesar baginya untuk meninggalkan kebiasaan rokok selamanya, dia bisa meninggalkan rokok tersebut di sisa umurnya.
Bulan Ramadhan inilah kesempatan yang baik. Waktu ini janganlah sampai dilewatkan oleh pecandu rokok untuk meninggalkan kebiasaan rokoknya selamanya.
Semoga Allah memberikan hidayah kepada pecandu rokok untuk meninggalkan kebiasaan rokok selamanya setelah dia berpuasa sebulan penuh di bulan Ramadhan yang penuh berkah, Amin Ya Rabbal Alamin. (*)
Sumber: Tribunnews
Sumber: Tribunnews
0 comments:
Post a Comment