Dari kiri: Aru Syeif Assadullah (Pimred Tabloid Suara Islam), KH. Muhammad al Khaththath (Pemimpin umum), dan Muhammad Halwan (Wartawan Daerah) didepan kuburan massal korban pembantaian PKI
Tim kecil redaksi
Suara Islam
melakukan perjalanan khusus, menelusuri sejarah sekitar tahun-tahun awal
berdirinya Republik ini yang dikoyak kekejaman Partai Komunis Indonesia
(PKI), di sekitar upaya pengambilalihan kekuasaan secara paksa dalam
peristiwa Madiun tahun 1948.
Tercakup dalam tim redaksi
Suara Islam itu, kendati dalam
jumlah kecil namun mencakup redaksi Tabloid dan Suara Islam Online.
Mereka diantaranya terdiri Pemimpin Umum KH. Muhammad Al Khaththath,
Pemimpin Redaksi H.M. Aru Syeiff Assadullah, Syaiful Falah serta
beberapa orang staf redaksi lain. Perjalanan kemudian didampingi M.
Halwan dari Biro Daerah-Jawa Timur.
Perjalanan ini, dilatarbelakangi gejala yang berkembang dalam beberapa
tahun belakangan, terutama setelah Orde Baru tumbang (21 Mei 1998),
semakin terang adanya upaya pemutarbalikkan fakta tentang kekejaman PKI.
Upaya itu dilakukan dalam berbagai bentuk publikasi, termasuk penulisan
buku-buku, terang-terangan semakin mengaburkan sejarah kelam itu.
Berbagai publikasi yang dilakukan orang-orang bekas PKI menyebut,
pemberontakan PKI di Madiun tahun 1948, hanya merupakan provokasi Wakil
Presiden Muhammad Hatta, yang ketika itu merangkap sebagai Perdana
Menteri. Kemudian, ada upaya mengelak dari yang sebenarnya berada di
balik kudeta gagal di tahun 1965. Mereka menyebut G30S PKI 1965, hanya
konflik internal ABRI terutama Angkatan Darat. Perjalanan tim kecil
redaksi Suara Islam bermisi menggali fakta yang lebih benar.
Upaya pengaburan sejarah, diantaranya seperti yang ditulis
Suara Islam
Tabloid Edisi 165 September/Oktober 2013; rancangan Kurikulum
Pendidikan Sejarah Nasional (PSN) tahun 2004, secara sengaja
menghilangkan dua peristiwa; Pemberontakan PKI September 1948 dan
Gerakan 30 September (G30S) PKI 1965. Sebaliknya justru banyak mengurai
pemberontakan DI/TII.
Sejumlah tokoh Islam, gigih melancarkan protes terhadap rencana
penerapan kurikulum itu, dan protes ini berhasil menggagalkan penerapan
kurikulum PSN “keblinger” itu. Diantara tokoh Islam itu; (Alm)
Allahuyarkham KH. Yusuf Hasyim---Pimpinan Pengasuh Pondok Pesantren
Tebuireng Jombang Jawa Timur, kemudian KH. Abdul Rasyid Abdullah Syafii,
Pengasuh Perguruan Islam Asy Syafi’iyah, Balimatraman Jakarta Selatan,
ada pula Sastrawan Taufiq Ismail dan sejumlah tokoh lainnya.
KH. Muhammad Yusuf Hasyim, karib disapa Pak ‘Ud dan Gus ‘Ud ini wafat
Ahad, 14 Januari 2007. Sebulan sebelumnya, tepatnya Sabtu 9 Desember
2006 bertutur kepada Suara Islam mengungkap; Kurikulum PSN tahun 2004
akan diterapkan mulai 1 Juli 2005, sangat menyakitkan umat Islam,
karena tidak menyebut PKI pernah memberontak; tahun 1948 berusaha
mengambil alih kekuasaan di Madiun. Tidak pula menyebut PKI berada di
belakang kudeta gagal ditahun 1965. “Malah, pemberontakan DI/TII, banyak
diurai, namun tidak dilengkapi latar belakang yang benar,” ungkap Pak
‘Ud.
Tokoh-tokoh Islam yang melancarkan protes, KH. Muhammad Yusuf Hasyim
menyebut sebagai sebuah Delegasi Besar. Ketika itu berhasil bertemu
Mendiknas (dijabat Bambang Sudibyo), Menko Kesra (dijabat Alwi Shihab)
dan Ketua DPR RI (dijabat Agung Laksono). “Alhamdulillah, protes itu
didengar mereka. Sangat melegakan; akhirnya kurikulum berhasil
dibatalkan, dan ditetapkan menerapkan PSN pada kurikulum sebelumnya.
Paling Diincar PKI
Masih dari
Suara Islam edisi yang sama, dari rubrik Nasional
Mengenang KH. M. Yusuf Hasyim, mengungkap ketika PKI memberontak
mengambil alih kekuasaan tahun 1948 di Madiun, juga menahan KH. Imam
Zarkasyi dan KH. Achmad Sahal, dua pimpinan Pengasuh Pondok Modern
Darussalam, Gontor, Ponorogo
Tim kecil redaksi, ketika berkunjung ke Gontor, Selasa (24 Desember)
diterima Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi, M.Phil, MA., Wakil Rektor Institut
Studi Islam Darussalam (lebih dikenal sebagai Universitas Darussalam,
red). Dalam perbincangan; tidak terjelaskan KH. Imam Zarkasyi ketika itu
sebagai Kiai yang sangat diincar oleh PKI. Penangkapan, penyekapan dan
penahanan oleh PKI yang dialami bersama KH. Achmad Sahal, kakaknya dan
sejumlah 70 santrinya, tak ubahnya seperti yang dialami ratusan kiai di
Madiun, Magetan, Ngawi dan Pacitan; yang tertangkap dan kemudian
menjadi korban pembantaian.
Tim Suara Islam bertemu dengan Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi, M.Phil, MA., Wakil Rektor Institut Studi Islam Darussalam
Suara Islam berhasil menghimpun beberapa catatan sejarah. KH.
Imam Zarkasyi sangat diincar PKI karena, walaupun sejenak, pernah sangat
aktif di Masyumi—satu-satunya partai Islam, yang sangat dimusuhi PKI.
Di masa pendudukan Jepang, ketika Masyumi mendirikan lasykar
Hizbullah---sebagai organisasi ketenteraan Islam, KH. Imam Zarkasyi
menjadi anggota pengurus pusat dan terlibat langsung penanganan berbagai
latihan anggota.
KH. Imam Zarkasyi, pada April 1945 aktif dalam berbagai pertemuan
Masyumi untuk pembahasan dan mematangkan ide pendirian Perguruan Tinggi
Islam. Beberapa kali pertemuan yang diselenggarakan itu, kemudian
disebut sebagai Sidang Pendirian Universitas Islam Indonesia (UII)
Yogyakarta. Berhasil diresmikan pembukaanya pada 8 Juli 1945 yang ketika
itu masih bernama Sekolah Tinggi Islam (STI).
Dalam Muktamar Umat Islam di Yogyakarta 7-8 Nopember 1945, KH. Imam
Zarkasyi tercatat sebagai anggota tim perumus untuk mewujudkan Masyumi
sebagai satu-satunya partai politik umat Islam. Setelah Masyumi menjadi
partai politik, KH. Imam Zarkasyi tercatat duduk menjadi anggota Majelis
Syuro (Dewan Partai) bersama tokoh-tokoh yang lain, diantaranya Ki
Bagus Hadi Koesoemo, KH. Wahid Hasyim dan Mr. Kasman Singodimedjo.
Pendiri dan Pimpinan Pengasuh Pondok Pesantren Tebuireng, KH. Hasyim
Asy’ari, bertgindak sebagai ketua Majelis Syuro ini.
Sembilan hari sebelum “meletus” pemberontakan PKI, tepatnya pada 9
September 1948, Masyumi wilayah Ponorogo menggelar rapat besar di Pondok
Gontor. PKI ternyata juga mengetahui di antara santri (ketika itu
berjumlah 200 orang) terdapat seorang anggota tentara Hizbullah;
dimaksud adalah Ghozali Anwar.
Terbetik khabar di daerah lain, para Kiai menjadi korban kekejian PKI;
karena itu bersama Shoiman, santri senior lainnya, Ghozali Anwar
mendesak KH. Imam Zarkasyi dan KH. Achmad Sahal, agar bersedia
mengungsi. Sebelum mengungsi, pondok pesantren diliburkan. Diantara 130
orang santri, yang tidak dapat pulang ke daerah asal, di titip-titipkan
ke rumah penduduk. Ikut mengungsi 70 orang santri senior. Pelarian
dalam pengungsian ini akhirnya terkepun dan tertangkap di kawasan
Sawoo, timur kota Ponorogo.
Disekap dalam rumah tahanan yang berpindah-pindah hingga akhirnya
dijebloskan ke Penjara Ponorogo. Sedang 70 orang santri diangapsebagai
tahanan ringan, di sekap di masjid pangung (masjid tingkat milik
Muhammadiyah Jl. Soekarno-Hatta,red). Setiap tekanan yang dilancarkan
dalam interogasi kepada santri, PKI selalu menanyakan keterlibatannya di
dalam Tentara Pelajar, Tentara Hizbullah, GPII (Gerakan Pelajar Islam
Indonesia) dan kemungkinan mengetahui keberadaan KH. Imam Zarkasyi.
Makam Soco
Sebelum ke Ponorogo, tim kecil redaksi Suara Islam, di kota
Madiun melihat dari dekat Rumah Tahanan Militer (RTM) di Jalan Jenderal
A. Yani (dahulu Jalan Wilis). Seberang jalan ini, adalah tepian sungai
besar Kali Madiun. RTM Madiun, berada tepat di tikungan aliran sungai
ini. Sisi kiri RTM, terdapat rumah pengendali lima unit pompa besar,
penyedot banjir kota Madiun, diangkat masuk ke aliran Kali Madiun.
Mengapa menengok RTM?. Karena di rumah tahanan ini, sejumlah tokoh
----terbanyak dari Masyumi--- pada awal hingga pertengahan dasawarsa
1960-an, ditahan oleh rezim Soekarno yang sedang bermesraan dan
kesengsem dalam buaian komunis.
Penahanan tokoh Masyumi serta tokoh-tokoh yang lain, tercatat mulai dari
16 Januari 1962 dan berlangsung selama lebih empat tahun hingga April
atau Mei 1966. Sebelumnya dipindah-pindah di sejumlah rumah tahanan.
Pemindahan ke RTM Madiun dibagi dalam dua gelombang. Pertama,
ditempatkan di blok A adalah: Mr. Mohammad Roem satu kamar dengan
Prawoto Mangkoesasmito. Kemudian Anak Agung Gde Agung satu kamar dengan
Subadio Sastrosatomo. Sutan Syahrir dan Sultan Hamid, masing-masing
menempati satu kamar terpisah
Dalam bulan Januari 1963, datang rombongan tahanan ke dua dijebloskan
blok B RTM Madiun. Diantaranya; Engkin Zainal (EZ) Mutaqien, HM. Yunan
Nasution, Mochtar Loebis, HM. Isa Anshary dan H. Mochtar Ghazali.
Tim kecil redaksi kemudian berziarah ke Taman Makam Pahlawan (TMP),
tidak jauh dari RTM. Di TMP ini, terdapat makam Soco; yaitu lokasi
pemakaman kembali secara massal (dalam satu liang lahat) sejumlah 108
kerangka jenazah korban kekejian PKI tahun 1948, yang dievakuasi dari
ladang pembantaian dan beberapa sumur di desa Soco, Kecamatan Bendo
Kabupaten Magetan. Evakuasi dilakukan, setelah jazad terkubur hampir
selama 20 tahun di beberapa sumur.
Tim Suara Islam berziarah ke Taman Makam Pahlawan Madiun
Tertulis pada prasasti Makam Soco,
sejumlah 67 tokoh korban pembantaian dapat diberi nama. Namun 41
kerangka korban lainnya, dalam urutan nomor 68 hingga 108, diberi
sebutan tidak dikenal. Tertulis urutan nama no 8, Moch. Soehoed, adalah
ayahanda Letjen (Purn) M. Kharis Suhud Ketua DPR/MPR RI pada periode
1988- 1993.
Di luar Makam Soco, terdapat makam Moelyadi, anggota Tentara Republik
Indonesia Pelajar (TRIP) pada Brigade 17. Ia gugur saat tugas jaga di
gerbang markasnya di SMP (kini SMPN 2 di Jalan HA. Salim). Tragisnya,
tewasnya Moelyadi ditembak oleh kakaknya sendiri. Ketika sudah roboh,
masih beberapa kali ditusuk bayonet ujung senapan.
Peristiwa tragis lainnya menimpa pelajar, adalah tewasnya Soeryo
Soegito, ketua GPII dan Komandan Brigade Pelajar Islam (BPI) Madiun.
Ketika itu berniat menyambut kedatangan tentara Siliwangi dengan
meluapkan kegembiraan; berteriak dan berlari keluar dari markasnya di
sudut perempatan Jalan Jawa. Karena mengenakan pakaian hitam, pasukan
Siliwangi mengira ia anggota laskar merah. Segera saja dilepas tembakan.
Soeryo Soegito tersungkur. Setelah jasad diteliti, sangat mengejutkan,
di balik pakaian hitam terdapat slayer dan pin GPII serta BPI.
Ridwan, Ketua GPII Kabupaten Magetan, yang tinggal di rumah Ibunya,
Djuariyah, di Kecamatan Bendo juga tragis. Dia hilang diculik PKI, dan
dinyatakan telah sahid bersama ratusan korban lain ditemukan di beberapa
sumur yang ditimbun di desa Soco. Nama Ridwan, tertulis pada prasasti
Makam Soco di TMP Madiun pada nomer urut 34.
Perjalanan telusur sejarah ini dilanjutkan ke Monumen Kekejaman PKI di
Desa Kresek, Kecamatan Wungu, Kabupaten Madiun---sekira 15 Km dari Kota
Madiun. Monumen di lereng barat pegunungan Wilis, menandai ladang
pembantaian dengan korban 17 orang. Kolonel Marhadi, dari Staf
Pertahanan Djawa Timur (SPDT) menjadi korban bersama sejumlah Kiai. Alm.
R. Kartidjo, yang pernah menjabat ketua DPR RI, selamat dari
pembantaian di Kresek ini. Akhir dasawarsa 1980-an, ketika meresmikan
monumen Moelyadi di Jalan Mas Trip, R. Kartidjo menyebut dirinya nyaris
sebagai korban ke 18 di Kresek. Ia tertimpa tawanan yang roboh dalam
ikatan, terkena tembakan membabi buta karena panik, camp tawanan segera diserbu tentara Siliwangi.
Pimred dan Pimpinan Umum Suara Islam di depan monumen pembantaian PKI terhadap ulama
Perjalanan diakhiri di Ponorogo. Setelah
bertandang ke Universitas Darussalam atau Institut Studi Islam
Darussalam dan Pondok Modern Darusalam Gontor, diakhiri di situs
Pesantren Tegalsari, di desa Tegalsari Kecamatan Jetis, Ponorogo.
Pesantren peninggalan Kiai Ageng Mohammad Besari, yang menjadi cikal
bakal pesantren seluruh Jawa.
Sumber: suara-islam.com