RAMAINYA media belakangan ini soal isu sistem pendidikan sekolah menjadi tanda, pendidikan masih perlu diperbaiki dan problematiknya perlu segera dicari solusi. Dari sekian problema pendidikan itu, sesungguhnya terdapat isu fundamental yang harus ditangani. Kesalahan memahami ilmu berdampak cukup serius terhadap kekeliruan penerapan pendidikan. Di antara kesalah fahaman yang masih dijumpai di sederet pendidik dan pelaku pendidikan adalah tidak mengkaitkan ilmu dengan iman.
Pemahaman ‘bercerainya’ antara iman dan ilmu pengetahuan boleh dikata sudah ‘lumrah’ di kalangan pendidik. Di lembaga Islam saja masih terdapat kebingungan pendidik mengaitkan pelajaran ilmu pengetahuan alam dengan iman.
Ilmu dalam Islam menempati posisi sangat penting. Salah satunya al-Qur’an menyebut kata ‘ilm dan deravisanya sebanyak 750 kali. Sehingga orang berilmu menempati posisi mulya. Allah Subhanahu Wata’ala berfirman;
“Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antara kamu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat, dan Allah Subhanahu Wata’ala Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Mujadalah: 11).
Dalam satu hadis dijelaskan, mencari ilmu juga mendapatkan tempat yang mulya; “Barang siapa yang mencari ilmu maka ia di jalan Allah Subhanahu Wata’ala sampai ia pulang.” (HR. Tirmidzi).
Wahyu pertama yang diturunkan Allah Subhanahu Wata’ala kepada Nabi Muhammad Saw berkaitan dengan perintah membaca (iqra’). Tetapi, sejak awal, sudah diingatkan bahwa proses membaca tidak boleh dipisahkan dari ingat kepada Allah Subhanahu Wata’ala . Harus dilakukan dengan mengingat nama Allah Subhanahu Wata’ala (Iqra’ bismi rabbikalladzi khalaq). Konsepsi Ilmu dalam Islam tidak memisahkan antara iman dan ilmu pengetahuan. Tidak memisahkan unsur dunia dan unsur akhirat. Karena pada hakikatnya ilmu pengetahuan dipelajari bermuara pada satu tujuan penting, mengenal Allah Subhanahu Wata’ala , beribadah kepada-Nya dan kebahagiaan di akhirat.
Syed Muhammad Naquib al-Attas mengatakan, “Mengawali akidah (yang disusun oleh al-Nasafi) dengan pernyataan yang jelas tentang ilmu pengetahuan adalah sesuatu yang sangat penting, sebab Islam adalah agama yang berdasarkan ilmu pengetahuan. Penyangkalan terhadap kemungkinan dan objektifitas ilmu pengetahuan akan mengakibatkan hancurnya dasar yang tidak hanya menjadi akar bagi agama, tetapi juga bagi semua jenis sains.”( Jurnal Islamia No. 5 Thn II April-Juni 2005, hal. 52).
Rasulullah Shaallahu ‘Alaihi Wassallam bersabda, “Barangsiapa yang bertambah ilmunya tapi tidak bertambah petunjuknya, maka tidak akan bertambah kecuali dia akan makin jauh dari Allah Subhanahu Wata’ala. ” (HR. al-Dailami).
Maksudnya, orang yang bertambah ‘informasi pengetahuannya’, namun tidak bertambah imannya, maka orang tersebut dijauhkan dari petunjuk Allah Subhanahu Wata’ala .
Karena itu, yang dinamakan al-din(agama Islam) adalah gabungan antara iman, Islam, ilmu pengetahuan, dan amal sholeh merupakan bagian yang tak terpisahkan (Wan Mohd Nor Wan Daud, Tantangan Pemikiran Umat,hal.55).
Karena itu, ilmu dalam Islam berdimensi duniawi dan ukhrawi. Ilmu itu merangkum keyakinan dan kepercayaan yang benar (iman). Karena itu, jika seseorang itu pandai, menyimpan informasi banyak dalam pikiran, akan tetapi jika ia tidak mengenal hakikat diri, tidak mengamalkan ilmunya, tidak beriman dan tidak berakhlak, maka tidak bisa disebut orang berilmu.
Ilmu pengetahuan dalam Islam, semuanya harus menjadikan akidah sebagai asas dasarnya. Belajar ilmu kedokteran, ekonomi, biologi, sosiologi dan lain-lain harus menjadikan syariat sebagai basis, dan mengorientasikan tujuan dasarnya untuk mencapai ridha Allah Subhanahu Wata’ala Subhanahu Wata’ala , bukan sekedar demi tuntutan duniawi.
Kita telah mengenal macam ilmu fardhu ain dan fardhu kifayah. Ada baiknya dua macam golongan ilmu ini kita pelajari lagi, lebih-lebih untuk pendidik. Karena, dengan menerapkan dua macam ilmu ini secara betul, maka Insya Allah, kita tidak lagi menceraikan ilmu dan pengetahuan.
Namun secara mendasar dapat dimulai dengan seperti ini; pertama-tama di dalam pendidikan dasar dan menengah, pengajaran ilmu fardhu ‘ain diperkuat. Formatnya, materi-materi porsi dan praktik pengajarannya akidah diperkuat. Karena bidang ini termasuk yang wajib bagi individu-individu Muslim mengetahuinya.
Adapaun ilmu-ilmu seperti matematika, IPA, IPS, bahasa, dan lain-lain yang termasuk fardhu kifayah disajikan dengan menjadikan tauhid sebagai basis dan dasarnya. Di sekolah menengah misalnya, kurikulum akidah akhlak, fikih, biologi, fisika dan lain-lain landasannya adalah pengetahuan tentang i’tiqad Islam. Sangat mungkin mengajar biologi atau fisika dengan diramu materi-materi tarbiyah ruhiyahplus akidah Islam.
Dengan desain seperti ini bukan tidak mungkin kelak akan lahir, dokter yang fakih, fisikawan yang mufassir, atau ulama’ yang matematikawan. Profil ideal ini ada dalam sosok Fakhruddin al-Razi, generasi ulama’ yang cendekiawan pasca Imam al-Ghazali.
Di tangan al-Razi, ilmu pengetahuan dalam dunia Islam menemukan fase gemilangnya — setelah sekian lama membeku. Fase itu tidak mustahil terwujud di era modern, itu jika seluruh insan pendidikan Islam menyadari pentingnya relasi antara iman dan ilmu pengetahuan. Jadi, sebaiknya perdebatan insan pendidikan tidak lagi fokus pada cara menyajikan pelajaran; full day apa half day. Karena ada masalah cukup serius yang dilupakan; yaitu konsep pendidikan dan konsep ilmu itu yang sedang dirusak.* (Hidayatullah Online)
Oleh: A. Kholili Hasib
Peneliti Institut Pemikiran dan Peradaban Islam (InPAS) Surabaya, Wakil Sektretaris MIUMI Jatim