Oleh:
Ahmad Kholili Hasib
IMAM al-Ghazali dalam kitab
Ihya’ Ulumuddin mengutip sebuah riwayat, “Sesunggunya kalian berada dalam zaman dimana
fuqaha’nya (ahli ilmu) banyak dan sedikit oratornya (
khutoba’).
Amal pada zaman ini lebih baik daripada ilmu. Dan kelak manusia akan
tiba pada masa di mana fuqaha’nya sedikit tetapi ahli oratornya banyak.
Pada zaman itu ilmu lebih baik daripada amal.
Pada zaman Nabi Shallallahu ‘alaihi Wasallam dan Sahabat, amal lebih
baik daripada ilmu bukan bermaksud kedudukan ilmu yang lebih rendah.
Maksud dari itu adalah, bahwa masa tersebut merupakan era yang mulya.
Sumber ilmu (Nabi Shallallahu ‘alaihi Wasallam) masih hidup. Ketika
sumber masih hidup, umat Islam dapat langsung ‘menikmati’ sumber
tersebut.
Setelah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam wafat, kaum Muslimin
masih tidak kesulitan mencari sosok yang dapat dijadikan sandaran ilmu.
Pembesar Sahabat — yang tidak lain murid langsung Rasulullah Shallallahu
‘alaihi Wasallam — memberi pengajaran yang baik. Makanya Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi Wasallam menyebut masa ini dengan khoirul
qurun (sebaik-baik zaman).
Ketika para ahli ilmu masih banyak, kaum Muslim tidak kesulitan untuk
melakukan kajian ilmu dengan benar. Sebuah amalan, tinggal mereka
praktikkan. Kehidupan keislaman relatif ‘aman’. Ketika bertanya sesuaut
masalah agama, mereka langsung bertanya kepada Rasulullah Shallallahu
‘alaihi Wasallam dan para Sahabat.
Sedangkan pada hari ini, kita hidup yang jauh dari Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi Wasallam dan para Sahabatnya. Bahkan periode kita
jauh dari para ulama salaf dan imam mujtahid. Ketika ada suatu persoalan
agama kita masih bertanya dahulu kepada ulama yang memahami pemikiran
imam madzhab. Itupun kita harus lebih hati-hati.
Generasi zaman ini telah mulai banyak yang tidak mengenal lagi ulama.
Mereka hanya mengenal ustadz dan dai melalui media sosial dan televisi.
Apalagi jika telah ada orang-orang yang menyamar sebagai ulama dengan
modal ilmu yang minimalis. Bahkan, belajar agama mereka cukupkan dengan
melalui media sosial dan internet.
Maka, dalam hal ini Imam Nawawi berpendapat bahwa meyibukkan dengan
mencari ilmu lebih afdhal daripada sibuk beribadah sunnah, seperti
shalat, puasa sunnah dan menbaca tasbih.
Ada beberapa alasan yang diungkapkan oleh Imam Nawawi.
Pertama, manfaat ilmu lebih meluas kepada kaum Muslimin.
Sedangkan ibadah sunnah manfaatnya hanya untuk perorang, yaitu orang
yang melakukan ibadah sunnah tersebut.
Kedua, karena ilmu itu mengoreksi ibadah sedangkan ibadah sunnah itu membutuhkan ilmu.
Ketiga, ulama merupakan warisan Nabi.
Keempat, karena ilmu tetap kekal meskipun ahli ilmu
meninggal dunia. Sedangkan ibadah sunnah terputus jika seseorang
meninggal dunia (Imam Nawawi,
Muqaddimah Syarah Majmu’, hal. 48).
Banyak orang berbangga dengan ibadah sunnah-nya sedangkan dia enggan
mengkaji ilmu. Padahal, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam pernah
bersabda: “Majelis ilmu itu lebih baik daripada ibadah enam puluh tahun”
(Ibnu Umar dalam
Muqaddimah Syarh Majmu’,hal. 47).
Dikisahkan, dari Abdullah bin Umar bin Ash. Suatu hari Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi Wasallam keluar, tiba-tiba beliau melihat di dalam
masjid ada dua majelis. Yaitu majelis yang membahas ilmu-ilmu syariat
dan kedua majelis yang isinya doa kepada Allah (dzikir).
Para Sahabat kemudian bertanya tentang dua majelis tersebut.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam menjawab: ‘Kedua majelis itu
mengajak kepada kebaikan. Yang satu berdoa kepada Allah Subhanahu
Wata’ala, dan satunya mereka belajar ilmu dan mengajari orang yang
bodoh. Mereka inilah yang lebih utama (dari majelis pertama), saya
diutus untuk mengajar manusia. Lalu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
Wasallam duduk bersama mereka (majelis ilmu) (HR. Ibnu Majah).
Imam al-Syafi’i juga berpendapat, bahwa tidak ada yang lebih afdhal setelah ibadah wajib (fardhu) kecuali mencari ilmu.
Ilmu memiliki perhatian penting dalam tradisi Islam. Ilmu merupakan
motor penggerak pemikiran dan aktifitas manusia. Tinggi rendahnya
martabat manusia ditentukan oleh faktor ilmu. Melalui ilmulah manusia
dapat mengenal Allah Subhanahu Wata’ala dan memahami cara beribadah
kepada-Nya dengan benar.
Penulis adalah Pengurus MIUMI Jatim, Anggota Penulis Bina Qalam Indonesia