Powered by Blogger.

Alasan Inilah yang Membuat Kita Harus Mengangkat "Senjata Tulisan"

Written By Yayasan Peduli Remaja Mentari on Friday, June 3, 2016 | 14:19

Lumrah diketahui, masih banyak orang yang enggan menjadi penulis. Padahal, fakta-fakta yang terpampang saat ini sudah cukup menjadi alasan untuk siapa saja mulai menulis.
Demikian diungkapkan Pemred Kelompok Media Hidayatullah (KMH), Mahladi, dalam acara Kunjungan Studi Jurnalistik Forum Komunikasi Mahasiswa LIPIA se-Sulawesi (FORMALIS) di kantor KMH, Jl Cipinang Cempedak 1/14, Polonia, Jakarta.
Perang Opini
“Fakta pertama, bahwa kita ini sedang berperang, tidak ubahnya seperti (di) Suriah dan Gaza (Palestina),” ungkapnya, Kamis, 26 Sya’ban 1437 (02/06/2016).
Namun, kata dia, perang di Indonesia berbeda dengan perang di negara-negara konflik seperti di Timur Tengah.
“Yang paling mungkin di negara ini perang bukan dengan senjata. Yang paling memungkinkan saat ini adalah perang opini, itulah jihad kita,” ujarnya.
Ia menjelaskan, perang opini dimaksud terutama melalui berbagai media massa maupun media sosial. Yaitu perang opini dan pemikiran antara kebenaran versus kebatilan.
Kebebasan Informasi
Fakta kedua, jelas Mahladi, bahwasanya saat ini adalah eranya kebebasan informasi yang luar biasa.
Semasa dia belum jadi wartawan, karya tulisnya sangat susah dimuat di media massa. Sering ditolak. “Akhirnya jadi koleksi saja. Paling nggak tampil di majalah dinding sekolah,” tuturnya mengenang.
Itu dulu. Tapi sekarang, kata dia kepada para mahasiswa, “Kebebasan informasi membuat kita semua ini jadi ‘wartawan’.”
Caranya, kata dia, sangat gampang. Di era kecanggihan teknologi, lumrah diketahui, masyarakat berbagai kalangan bisa sangat mudah melakukan reportase layaknya wartawan profesional. Hasil reportase itu pun dengan mudahnya dipublikasikan lewat berbagai media sosial.
“Sehingga, kalau media massa saat ini dikuasai musuh, dimana peran kita?” ujarnya memantik semangat para mahasiswa.
Dalam dunia tulis-menulis termasuk perbukuan, menurutnya, penulis Muslim masih kalah produktif dibanding penulis non-Muslim. Sebagai contoh, hal itu bisa dilihat pada karya-karya tulis di toko buku terkenal di negeri ini.
Tak heran jika pemikiran-pemikiran yang merusak agama melalui tulisan, seperti disadari bersama, kini begitu merebak.
Seharusnya, kata dia, fakta itu bisa mengundang para mahasiswa untuk mengimbanginya dengan turut menjadi penulis buku.
Studi Jurnalistik FORMALIS di kantor KMH, Jakarta.

Tugas Dakwah
Ini fakta ketiga yang disampaikannya. Bahwa sudah menjadi tugas setiap Muslim untuk berdakwah, mengajak siapa saja untuk menjalankan syariat Islam.
Dalam dakwah, memengaruhi orang yang didakwahi itu penting. Agar berhasil memengaruhi orang, jelas Mahladi, maka berdakwah harus pakai strategi. Begitu pula dakwah lewat tulisan.
“Mana mungkin berhasil mengajak orang jika tulisan kita amburadul. Kalimat pertama saja sudah tak beraturan,” ujarnya mencontohkan.
Karena itulah, ia berpesan, para pendakwah termasuk mahasiswa LIPIA perlu berlatih tulis-menulis.
Mereka pun diimbau untuk menguasai teknis menulis yang benar dan bagus. Di antaranya dengan rajin mengikuti pelatihan, termasuk seperti acara Studi Jurnalistik FORMALIS tersebut.
Melihat fakta-fakta di depan mata itu, kata dia kepada para mahasiswa, “Kita juga tidak bisa diam.” Jika mahasiswa mengangkat “senjata pena” sebagai pembela Islam, maka itu dinilai sebagai bentuk pertanggungjawabannya kepada Allah bahwa ia telah berjihad.

0 comments:

Post a Comment